Oleh: Lajnah Siyasiyah DPP HTI
Gelombang revolusi melanda dunia arab, berawal dari Tunisia dan dengan cepat menyebar ke Mesir, Libya, Yaman, Bahrain, Oman, Suriah, Yordania, dan mulai merembet ke Arab Saudi serta berjalan ke seluruh negeri Islam lainnya. Masyarakat marah dan turun ke jalan-jalan untuk menuntut perubahan dengan mengganti rezim yang berkuasa, mereka menginginkan perubahan yang lebih baik. Meskipun mereka berhadapan dengan moncong senjata para pendukung penguasa, mereka tetap bergerak menuntut diturunkannya rezim Mubarak, Ben Ali, Qaddafi, Ali Abdullah Saleh dkk.
Jika diamati jalannya revolusi di dunia arab yang hingga kini masih terus berlangsung dan berproses maka banyak sekali analisis dari berbagai sudut pandang yang bisa ditelurkan, selain juga terdapat banyak pelajaran yang bisa diambil. Diantara pelajaran yang bisa diambil -tentu ini belum mencakup semuanya- antara lain:
Umat Islam Belum Mati
Pergerakan masyarakat di negeri-negeri kaum muslim di dunia arab secara massif dan spontan menunjukkan bahwa umat Islam belum mati. Umat masih memiliki vitalitas, meski selama ini daya vitalitas itu masih terpendam. Juga tampak jelas bahwa umat Islam bisa bergerak dan bisa digerakkan secara massif. Umat masih menyimpan kekuatan besar untuk menyuarakan aspirasi mereka. Dan umat masih memiliki mimpi dan harapan yang bisa menggerakkan mereka yang dalam kasus revolusi arab ini adalah mimpi perubahan, pergantian rezim, harapan akan hidup yang lebih baik dan bermartabat.
Pergerakan massif kaum muslim di dunia arab sekaligus juga menunjukkan bahwa segala upaya yang dilakukan oleh rezim para penguasa boneka dengan arahan tuan-tuan mereka kafir penjajah untuk membuat umat ini lumpuh dan mati rasa ternyata tidak berhasil. Segala bentuk tindakan represif dan bengis yang dilakukan para penguasa bersama para begundalnya tidak mampu memadamkan semangat umat dan membuat mereka mati kutu dihantui rasa takut untuk menyuarakan aspirasi dan menuntut hak mereka. Pada awalnya upaya rezim itu terlihat berhasil pada sebagian dari umat sehingga menciutkan nyali mereka. Namun revolusi yang kita saksikan mengatakan bahwa umat telah berhasil menghancurkan penghalang berupa rasa takut itu.
Revolusi yang telah dan sedang berjalan juga mengatakan bahwa kemiskinan tidak bisa mengkooptasi kehendak umat sehingga tidak bergerak karena sibuk hanya memikirkan masalah perut dan pemenuhan keseharian hidup dan dibelenggu oleh kemiskinan mereka. Kondisi kaum muslim di Yaman, Tunisia dan Mesir yang banyak dihiasi kemiskinan tidak membuat mereka tidak bisa bergerak. Justru merekalah yang lebih dahulu bergerak menuntut perubahan. Justru kemiskinan bisa menjadi pemantik terjadinya gerakan massif. Itulah yang terlihat di Tunisia. Pergerakan massa di sana dipicu oleh seorang pemuda, Boazizi, seorang sarjana yang terpaksa berjualan sayuran di lapak gerobak kecil karena kemiskinannya, yang diperlakukan oleh aparat Tunisia secara buruk dengan merampas lapaknya, lalu ia melakukan protes dengan membakar diri hingga mati, dan berikutnya hal itu memacu pergerakan massif dan berakhir dengan tumbangnya Ben Ali.
Di sisi lain kemakmuran ternyata juga tidak bisa mematikan vitalitas umat. Kemakmuran penduduk Libya tidak membuat mereka tidak bisa bergerak. Perlu diketahui bahwa GNP Libya sekitar US $ 13.500 sampai US $ 15.000 per kapita. Setiap orang penduduk Libya mendapat santuan dari negara sekitar 300 dinar atau US $ 400 (sekitar Rp. 3,6 juta ) per bulan. Kemakmuran juga terlihat dari foto-foto suasana revolusi dimana dalam latar belakang terlihat berbagai jenis mobil mahal terlihat dengan jelas.
Semua kenyataan itu makin membesarkan optimisme bahwa perubahan hakiki itu adalah mungkin, bukan mimpi. Umat yang selama ini oleh sebagian orang dikatakan telah mati, ternyata tidak. Umat belum mati. Umat masih memiliki vitalitas. Umat hanya perlu dibangunkan dan disadarkan se-sadar-sadarnya dan dituntun untuk bergerak ke arah yang benar untuk mewujudkan perubahan yang hakiki. Dan untuk itu terlihat jelas bahwa umat masih memiliki kesiapan untuk berkorban dengan apa saja termasuk nyawa mereka. Itulah yang terlihat jelas dalam revolusi di Tunisia, Mesir, Yaman, Libya dan negeri lainnya.
Kekuatan Barat dan Yang Bersandar Pada Barat Hanyalah Semu dan Rapuh.
Dengan turunnya rezim penguasa barat, seperti Ben Ali (antek Prancis) dan Mubarak (antek Amerika), dan segera Qaddafi (antek Inggris), menyusul berikutnya Ali Abdullah Saleh (Antek Inggris) dan akan diikuti oleh yang lain, memperlihatkan bahwa negara-negara barat tidak mampu untuk menghalangi keinginan rakyat untuk menggantikan para penguasa boneka itu. Kekuatan Barat tidak berani untuk terus mempertahankan penguasa bonekanya betapapun besarnya pengabdian mereka selama ini. Semua itu juga memperlihatkan bahwa kekuatan rezim-rezim yang disandarkan pada Barat ternyata begitu rapuhnya.
Revolusi yang terjadi menegaskan kembali bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat. Juga menegaskan bahwa kekuatan yang sebenarnya adalah dengan bersandar pada kekuatan umat. Jika umat sudah bergerak, meski hanya bergerak secara emosional dan spontan, tidak ada kekuatan baik Barat, rezim ataupun militer yang loyal kepada barat dan rezim, akan bisa menghadangnya. Bisa dibayangkan jika rakyat bergerak bukan hanya emosional dan spontan, tetapi bergerak atas dorongan dan dipandu oleh kesadaran yang benar? Jadi yang diperlukan dan ditunggu oleh umat tidak lain adalah kelomok yang bisa menanamkan kesadaran yang benar kepada mereka dan menuntun serta memimpin mereka ke arah perubahan yang benar.
Perubahan Tanpa Visi Rawan Dibajak
Dari satu sisi, peristiwa revolusi dunia arab itu memiliki realita positif yaitu telah lenyapnya rasa takut dalam diri masyarakat terhadap penguasanya yang represif dan antek barat. Peristiwa-peristiwa itu juga meneriakkan perasaan-perasaan Islami. Masyarakat bergerak dengan teriakan takbir tanpa takut terhadap tindakan represif penguasa. Dari sisi lain, pergerakan itu mula-mula bersifat emosional dengan teriakan-teriakan umum. Pergerakan semacam ini akan mudah bagi kekuatan internasional yang berpengaruh dan antek-anteknya di negeri tersebut untuk mengendalikannya. Justru, di sinilah titik rawan dari pergolakan di Timur Tengah. Perubahan tanpa visi yang jelas tentang sistem masa depan, bisa dibajak oleh siapa saja, termasuk rezim lama yang berganti wajah menjadi pendukung rakyat dan terkesan reformis. Termasuk, rawan dibajak kepentingan asing. Perubahan sebatas personel rezim menjadi cara untuk revitalisasi dominasi negara besar dengan mengangkat rezim baru yang tetap dalam kontrol mereka.
Perkara itu dipahami oleh setiap orang yang penuh perhatian dan mukhlish. Yaitu bahwa pergerakan-pergerakan itu bersifat emosional, maka mudah bagi kekuatan barat dan antek-anteknya untuk mengendalikannya. Karena itu kekuatan mukhlis itu memfokuskan kontak mereka dengan orang-orang yang melakukan perlawanan untuk menyadarkan mereka dan membuat mereka bisa melihat apa yang terjadi. Juga untuk mendorong mereka agar tidak meremehkan darah yang telah ditumpahkan dan agar mereka menjadikan tuntutan perlawanannya sesuai dengan hukum-hukum agama mereka, di mana mereka meneriakkan takbir dan tahlil… Karena itu dengan memahami hakikat perubahan sesuai dengan tuntutan agama mereka yaitu dengan perubahan sistem yang diperintahkan Allah kepada mereka yaitu sistem yang berlandaskan sistem Islam maka mereka akan memperoleh perubahan yang hakiki.
Meski perubahan yang telah dan sedang berlangsung di dunia islam saat ini, baru sebatas perubahan personel rezim, belum perubahan rezim secara total, apalagi perubahan hakiki, tetapi meski perubahan baru sebatas itu tetaplah sangat berarti dan dari satu sisi penuh berkah. Dan semoga perubahan itu akan menjadi prolog bagi terwujudnya perubahan hakiki. Setidaknya, perubahan itu akan bisa membuka ruang lebih lebar dan lebih leluasa bagi upaya edukasi umat untuk membentuk opini umum berlandaskan kesadaran. Dan tentu saja perubahan yang telah dan sedang terjadi akan makin menambah optimisme bagi terwujudnya perubahan hakiki ke depan.
Menuju Perubahan Hakiki
Perubahan sekecil apapun tidaklah datang dengan sendirinya turun dari langit. Jika terjadi perubahan di masyarakat apapun bentuk dan skala perubahan itu maka sesungguhnya pasti ada pihak-pihak di masyarakat yang berupaya mewujudkan perubahan itu. Sebab Allah SWT berfirman:
} إِنَّ اللَّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ {
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS ar-Ra’d [13]: 11)
Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah SWT mengabarkan bahwa Dia tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga terjadi perubahan dari mereka dimana bisa jadi dari mereka atau orang yang mengatur dan mengurus urusan mereka atau dari orang yang menjadi bagian dari mereka menurut satu sebab (Al-Qurthubi, Jâmi’ al-Bayân li Ahkâm al-Qur`ân (Tafsîr al-Qurthubî), tafsir surat ar-Ra’d : 11).
Memahami Perubahan Hakiki
Perubahan hakiki yang dimaksud adalah revolusi yang hakiki. Yaitu perubahan yang bersifat mendasar dan menyeluruh dalam segala aspek kehidupan. Revolusi -yang sebenarnya bukan hanya sekedar sebutan- di seluruh dunia di manapun adalah perubahan menyeluruh atas kondisi politik, ekonomi dan semua aspek kehidupan. Itu merupakan peralihan dari kondisi yang buruk ke kondisi yang lebih baik. Revolusi itu merupakan pemulihan hak-hak umat dan kehebatan umat serta penarikan kembali kekayaan umat yang dicuri oleh para koruptor. Juga merupakan pemulihan kepribadian umat dan kehebatannya yang telah dihancurkan.
Perubahan yang hakiki itu bukan hanya perubahan orang dan personel sementara sistem yang berlaku tetap eksis. Perubahan yang hakiki itu adalah perubahan sistem yang digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Perubahan yang terjadi di seluruh dunia termasuk yang telah dan sedang terjadi di dunia Islam memberikan pelajaran penting. Yaitu bahwa perubahan hakiki itu memerlukan dua perkara: pertama, Opini umum yang terpancar dari kesadaran umum, bukan hanya opini umum saja. Dan kedua, Nushrah (pertolongan) dari ahlul quwah, dan bukan sembarang nushrah.
Perubahan hakiki yang dimaksud itu terepresentasi dengan tegaknya Daulah Khilafah Rasyidah. Dalam hal ini Mahmud Abdul Karim Hasan menjelaskan bahwa mewujudkan Daulah Islamiyah itu berarti mewujudkan dua perkara: pertama, mewujudkan opini umum yang dipimpin oleh keimanan terhadap Islam dan memiliki kesadaran umum atas wajibnya terikat dengan Islam, wajibnya penerapan Islam dan wajibnya mewujudkan negaranya dan melindunginya. Kedua, mewujudkan kekuatan atau kekuasaan yang merealiasasi penerapan Islam, melindunginya dan memungkinkannya untuk menyebarkan dan mendakwahkan Islam di seluruh dunia (Mahmud Abdul Karim Hasan, at-Taghyîr Hatmiyah ad-Dawlah al-Islâmiyah, hal. 64-65, cet. ii. 2004).
Terwujudnya opini umum yang berdasarkan kesadaran itu pada hakikatnya adalah mewujudkan umat yang terdidik (al-ummah al-mutatsaqqafah) hingga mempunyai kesadaran umum tentang Islam, dan kesadaran politik. Kesadaran umum tentang Islam (al-wa’yu al-’am ‘an al-Islam) dalam diri umat artinya umat paham sistem pemerintahan Islam, sistem ekonomi Islam, sistem sosial Islam, sistem pendidikan Islam, sistem sanksi hukum, politik luar negeri, dsb, meski tidak sampai detil-detilnya. Sementara kesadaran politik (al-wa’yu as-siyasi) dalam diri umat artinya umat paham kondisi, konstelasi dan peta dunia dari perspektif Islam.
Keharusan dan urgensi adanya umat yang terdidik itu juga bisa kita lihat dengan jelas dari perubahan dan revolusi yang telah dan sedang terjadi di dunia Islam bahkan di seluruh dunia, termasuk yang terjadi di negeri ini. Bergeraknya masyarakat menuntut perubahan di Tunisia, Mesir, Yaman, termasuk dahulu di negeri ini, terjadi karena adanya kelompok terdidik yang secara terus menerus menyuarakan perubahan dan menggerakkannya, meski sayang baru sebatas perubahan rezim bahkan hanya personel rezim saja.
Umat yang terdidik di atas tentu saja tidak bisa ada dengan sendirinya dan tidak mungkin terbentuk begitu saja dari tubuh umat. Untuk mewujudkannya wajib ada pihak yang mendidik/mentatsqîf umat. Edukasi untuk mewujudkan umat yang terdidik itu hanya akan bisa dilakukan oleh partai politik ideologis (hizbun siyasiyun mabda’iyun), sebab yang ingin diwujudkan adalah umat yang terdidik secara ideologi dan politik. Partai tersebut tentu saja bukan sembarang partai politik. Partai itu haruslah partai yang mempunyai master plan (rancangan induk) perubahan, atau at-tsaqafah al-mutabannat (konsep yang diadopsi dan diperjuangkan) yang menjadi fikrah-nya baik sistem pemerintahan Islam, sistem ekonomi Islam, sistem sosial Islam, sistem pendidikan Islam, sistem sanksi, politik luar negeri, dsb. Disamping itu, partai itu juga haruslah partai yang mempunyai road map (peta jalan), atau thariqah. Thariqah-nya juga harus shahih.
Partai ideologis itu dan para aktivisnya haruslah sadar betul posisi dan tanggungjawab besarnya dalam rangka merealisasi perubahan hakiki di tengah masyarakat. Di atas pundak merekalah ditumpukan harapan umat saat ini akan terwujudnya perubahan hakiki itu. Itu artinya nasib umat ke depan bertumpu di atas pundak mereka. Hal itu menjelaskan betapa besarnya tanggungjawab sekaligus amanah yang harus dipikul oleh partai ideologis dan para aktivisnya itu. Sekaligus juga menunjukkan betapa besar dosa yang harus dipikul jika tanggungjawab dan amanah itu ditelantarkan atau tidak ditunaikan dengan semestinya.
Namun juga harus diingat bahwa perubahan selain dipengaruhi oleh adanya opini umum maka juga sangat ditentukan oleh dukungan ahlul quwah termasuk militer. Revolusi yang telah dan sedang berjalan menunjukkan dengan jelas bahwa peranan militer sangat menentukan dalam perubahan. Maka dalam mewujudkan perubahan, selain pembentukan opini umum berlandaskan kesadaran, maka juga sangat penting upaya-upaya mendapatkan dukungan dari ahlul quwah khususnya militer dan inilah yang disebut aktifitas thalab an-nushrah.
Thalab an-nushrah itu secara faktual menjadi kunci bagi terwujudnya perubahan. Lebih dari itu thalab an-nushrah sesunguhnya merupakan hukum syara’ yang harus dipegangi. Thalab an-nushrah itu merupakan bagian dari thariqah Nabi saw, yang wajib diambil dan diteladani. Hal itu terlihat dari kekonsistenan Rasul saw melakukan thalab an-nushrah bagaimanapun kesulitan yang menghadang dan penyiksaan yang menimpa. Kabilah yang pernah didatangi oleh Rasulullah antara lain: 1. banu ‘Aamir bin Sha’sha’ah, 2. Bani Muharif bin Khashfah, 3. Bani Fazarah, 4. bani Ghassan, 5. bani Murah, 6. Bani Hanifah, 7. Bani Sulaim, 8. Bani ‘Abbas, 9. Bani Nadlar, 10. Bani Baka’, 11. Bani Kindah, 12. Bani Kalb, 13. Bani Harits bin Ka’ab, 14. Bani ‘Adzrah, 15. Bani Hadlaramah, 16. Bani Bakar bin Wail. (Nama-nama itu merujuk kepada Thabaqat Ibnu Sa’ad; Sirah Ibn Hisyam), 17. Bani Syaiban (Al-Bukhari, Raudlul Anif; Ibn Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam) dan 18. Bani Hamdan (Al Mustadrak, Al Hakim, dari Jabir, shahih dengan syarat Shahihain).
Mengingat aktifitas thalab an-nushrah begitu penting dan strategis, terlebih karena wajib, Hizbut Tahrir menambahkan aktifitas thalab an-nushrah sebagai salah satu amal thariqah dalam menegakkan Khilafah Rasyidah atau mewujudkan perubahan yang hakiki. Hizb telah dan terus berupaya melakukan thalab an-nushrah dengan dua tujuan: pertama, meminta perlindungan sehingga bisa mengemban dakwah dengan aman (li himâyah ad-da’wah); dan kedua, untuk sampai pada kekuasaan guna menegakkan Khilafah dan mengembalikan berhukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah di dalam kehidupan, negara dan masyarakat.
Hizb menegaskan bahwa nushrah itu tidak boleh diminta dari individu, sebab Rasul tidak memintanya dari individu, kecuali individu itu menjadi representasi kelompok sehingga secara riil sebenarnya meminta nushrah dari jamaah. Hizb juga menegaskan, nushrah tidak boleh diminta dari jamaah yang lemah. Tetapi nushrah hanya diminta dari jamaah yang diduga kuat mampu menolong dakwah dan membelanya. Jamaah itu juga tidak bleh terikat dengan institusi asing atau terikat dengan perjanjian internasional. Nushrah yang diberikan juga tidak boleh dikaitkan dengans syarat apapun.
Meskipun thalab an-nushrah merupakan kunci, namun thalab an-nushrah tidak menjadi aktifitas Hizb, tetapi hanya salah satu dari aktifitas Hizb. Thalab an-nushrah bukan aktifitas anggota-anggota Hizb secara keseluruhan. Akan tetapi yang bekerja melakukan thalab an-nushrah di satu wilayah hanyalah sejumlah kecil anggota yang jumlahnya tidak melebihi jumlah jari di satu tangan. Tabiat aktifitas thalab an-nushrah tidak memungkinkan untuk menjadikan semua anggota melakukannya. Tabiat akfifitas thalab an-nushrah justru harus dilakukan oleh sejumlah anggota yang sangat terbatas. Disamping itu, dari sirah Nabi saw, thalab an-Nushrah kebanyakan dilakukan oleh Beliau sendiri. Sahabat yang pernah ditunjuk Rasul untuk melakukan aktifitas ini hanyalah Abu Bakar kepada Bani Bakr bin Wail dan Bani Syaiban, Ali bin AbinThalib ke Mina, dan Mush’ab bin Umair bersama As’ad bin Zurarah di Madinah.
Keberhasilan thalab an-nushrah sangat dipengaruhi oleh sejauh mana keberhasilan proses edukasi umat. Mahmud Abdul Karim Hasan menyatakan, “harus diisyaratkan di sini bahwa tidak mungkin beraktifitas untuk mewujudkan kekuatan untuk menerapkan Islam sebelum mewujudkan kesadaran umum di masyarakat dan suasana untuk itu serta kesiapan untuk menerapkannya. Demikian juga tidak mungkin mengumumkan Daulah Islamiyah sebelum adanya opini umum Islami yang menginginkan eksistensi Daulah Islamiyah dan mendukungnya, serta melihatnya sebagai hak yang wajib dan solusi yang sahih bagi kondisi dan permasalahan umat. Ia juga menambahkan, “jika terdapat kesadaran umum yang sahih tentang penegakan Daulah Islamiyah, dan melanjutkan kehidupan Islami serta eksistensi Daulah Islamiyah telah menjadi tuntutan kaum muslim, maka pada kondisi itu wajib mewujudkan kekuatan yang dengannya entitas Daulah Islam ditegakkan, sandaran dan kekuatan kufur dihilangkan dan Islam diterapkan. Dan ini bersandar pada sejauh mana penyebaran ide Islami dan ide eksistensi daulah yang menerapkannya” (Mahmud Abdul Karim Hasan, at-Taghyîr Hatmiyah ad-Dawlah al-Islâmiyah, hal. 65-66, cet. Ii. 2004).
Kenyataan itu pula yang tergambar dalam sirah Rasul saw. Jabir bin Abdillah ra menuturkan:
مَكَثَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ عَشْرَ سِنِينَ ، يَتْبَعُ النَّاسَ فِي مَنَازِلِهِمْ بعُكَاظٍ وَمَجَنَّةَ ، وَفِي الْمَوَاسِمِ بِمِنًى ، يَقُولُ : مَنْ يُؤْوِينِي ؟ مَنْ يَنْصُرُنِي حَتَّى أُبَلِّغَ رِسَالَةَ رَبِّي ، وَلَهُ الْجَنَّةُ ؟ … حَتَّى بَعَثَنَا اللَّهُ لَهُ مِنْ يَثْرِبَ ، فَآوَيْنَاهُ ، وَصَدَّقْنَاهُ ، فَيَخْرُجُ الرَّجُلُ مِنَّا فَيُؤْمِنُ بِهِ ، وَيُقْرِئُهُ الْقُرْآنَ ، فَيَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ فَيُسْلِمُونَ بِإِسْلاَمِهِ ، حَتَّى لَمْ يَبْقَ دَارٌ مِنْ دُورِ الأَنْصَارِ إِلاَّ وَفِيهَا رَهْطٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ، يُظْهِرُونَ الإِِسْلاَمَ ، ثُمَّ ائْتَمَرُوا جَمِيعًا ، فَقُلْنَا : حَتَّى مَتَى نَتْرُكُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُطْرَدُ فِي جِبَالِ مَكَّةَ وَيَخَافُ ؟ فَرَحَلَ إِلَيْهِ مِنَّا سَبْعُونَ رَجُلاً حَتَّى قَدِمُوا عَلَيْهِ فِي الْمَوْسِمِ ، فَوَاعَدْنَاهُ شِعْبَ الْعَقَبَةِ
Rasul saw tinggal di Mekah sepuluh tahun, Beliau mendatangi orang-orang di tempat-tempat tinggal mereka di Ukazh dan Majannah dan di musim-musim haji di Mina. Beliau berkata: siapa yang mendukungku? siapa yang menolongku hingga aku bisa menyampaikan risalah Rabbku, dan baginya surga? … Hingga Allah mengutus kami dari Yatsrib, maka kami mendukung beliau dan membenarkan beliau. Seorang laki-laki dari kami beriman kepada beliau, dan beliau membacakan al-Quran kepadanya, kemudian dia pulang ke keluarganya sehingga mereka masuk Islam dengan keIslaman dia. Hingga tidak tersisa satu rumah pun dari rumah-rumah Anshar kecuali di dalamnya ada sekelompok orang muslim, mereka menampakkan agama mereka, kemudian mereka semua berkumpul (tsumma I’tamarû jamî’an). Maka kami katakan : sampai kapan kita biarkan Rasulullah saw terusir di bukit Mekah dan dicekam ketakutan? Maka 70 orang dari kami pergi hingga mereka datang di musim haji dan beliau berjanji bertemu dengan kami di celah bukit ‘Aqabah … (HR Ahmad)
Imam Ahmad, al-Hakim dan al-Baihaqi juga mengeluarkan riwayat tersebut dengan lafazh sedikit berbeda.
… فَائْتَمَرْنَا وَاجْتَمَعْنَا وَقُلْنَا حَتَّى مَتَى رَسُوْلُ اللهِ r يُطَرَّدُ فِي جِبَالِ مَكَّةَ وَيَخَافُ ، فَرَحَلْنَا حَتَّى قَدِمْنَا عَلَيْهِ فِي الْمَوْسِمِ فَوَاعَدْنَا بَيْعَةَ الْعَقَبَةِ …
… maka kami bermuktamar dan berkumpul, dan kami katakan “sampai kapan Rasululalh saw terusir di bukit Mekah dan dicekam ketakutan, maka kami pergi hingga kami datang kepada beliau di musim-musim haji lalu kami saling berjanji dalam Baiat al-’Aqabah II
Mahmud Abdul Karim Hasan mengomentari riwayat ini, “maka mereka menyelenggarakan muktamar di Madinah dan mereka memutuskan untuk pergi kepada Nabi saw dan membaiat beliau atas apa saja yang beliau minta dan syaratkan” (Mahmud Abdul Karim Hasan, at-Taghyîr Hatmiyah ad-Dawlah al-Islâmiyah, hal. 84, cet. Ii. 2004). Aktivitas thalab an-nushrah di Madinah itu ditugaskan oleh Rasul kepada Mush’ab bin Umair, ditemani oleh As’ad bin Zurarah. Keduanya meminta nushrah kepada para pemimpin suku Aws dan Khazraj -dua suku terbesar dan terkuat di Madinah- seperti Sa’ad bin Mu’adz, Amru bin al-Jamuh, Sa’ad bin Ubadah, dsb. Disamping aktifitas thalab an-nushrah itu mereka juga melakukan dakwah bersama kaum muslim di Madinah untuk membentuk opini umum yang terpancar dari kesadaran. Ketika opini umum berlandaskan kesadaran itu terwujud di tengah masyarakat Madinah, maka ahlul quwah terdorong memberikan nushrah kepada Rasul saw dan dengan itu tegaklah Daulah Islamiyah di Madinah dan terwujudlah perubahan hakiki di tengah masyarakat Madinah.
Tampak jelas bahwa dalam terwujudnya keberhasilan aktifitas thalab an-nushrah ini peran umat sangatlah penting. Hizb menegaskan, “kita tidak lupa di sini bahwa umat memiliki peran penting dalam menggerakkan ahlul quwah. Hal itu bahwa ahul quwah wa al-man’ah jika merasakan keterpengaruhan umat dengan Islam secara hakiki, dan bahwa umat siap secara penuh untuk berkorban demi Islam, maka ini akan menjadi faktor pentng dalam terdorongnya ahlul quwah untuk menolong Islam dan menegakkan daulahnya” (Wujûb al-‘Amal li Iqâmah ad-Dawlah al-Islâmiyyah Dhimna Jamâ’ah wa bi Tharîqah Rasûl, Silsilah Afkâr Yajibu an Tushahhah II, hal. 22, Lajnah Tsaqafiyah Hizbut Tahrir Wilayah Irak. 1426 H/2005 M).
Dengan demikian aktifitas edukasi dan pembentukan opini umum berdasarkan pada kesadaran umum memegang peranan penting bahkan bisa dikatakan sangat menentukan bagi keberhasilan akfititas thalab an-nushrah. Dan aktifitas edukasi umat itulah yang menjadi aktifitas seluruh organ, anggota dan kekuatan partai ideologis itu. Maka makin cepat dan makin besar terwujud opini umum yang berlandaskan kesadaran akan Islam dan kesadaran politik, makin cepat dan makin besar pula kemungkinan berhasilnya aktifitas thalab an-nushrah. Di sinilah kegigihan setiap orang dengan posisi, peran dan potensi masing-masing, untuk terlibat dalam proses edukasi itu, selain bernilai tinggi dan sangat mulia di hadapan Allah, juga memiliki peran strategis dan bernilai tinggi bagi terwujudnya perubahan hakiki.
Aktivitas edukasi dalam rangka menanamkan kesadaran akan Islam dan kesadaran politik itu terangkum dalam aktivitas-aktivitas yang menjadi aktivitas pada tahapan tafâ`ul ma’a al-ummah. Aktivitas pembinaan intensif dilakukan untuk mendarah dagingkan ideologi Islam dalam diri mereka yang menjadi mutsaqqif al-ummah (pendidik umat). Pembinaan umum untuk menyampaikan ideologi Islam kepada khalayak secara massal. Pergolakan pemikiran (ash-shirâ`u al-fikriy) yang difokuskan pada ide-ide dan kepentingan ghayr âniyah (bukan kekinian) termasuk grand strategi musuh yang bersifat jangka panjang. Sementara untuk edukasi terkait masalah kemaslahatan kekinian dilakukan melalui tabanni mashâlih al-ummah. Ditambah aktivitas perjuangan politis (al-kifâh as-siyâsî) yang menyasar ide-ide dan kepentingan yang bersifat âniyah (kekinian) yang secara rinci dilakukan melalui dua bentuk aktifitas, pertama, kasyf al-khuthath membongkar strategi dan taktik musuh untuk menyerang dan menghancurkan umat; dan kedua, memerangi penguasa (muqâra’ah al-hukâm) dengan cara menelanjangi jati diri dan kebobrokan penguasa yang merupakan antek barat dan pengabaian mereka terhadap kepentingan umat. Semua aktivitas itu pada dasarnya adalah aktivitas edukasi untuk menanamkan kesadaran akan Islam dan kesadaran politik dalam diri umat.
Muhammad Muhsin Radhi dalam tesisnya tentang Hizbut Tahrir di Universitas Islam Baghdad (2006/2007) mengatakan bahwa dalam tahapan ini maka seluruh struktur, anggota bahkan semua pribadi yang ada di dalam Hizb harus menjalin kontak dengan masyarakat, harus mengatakan kepada masyarakat ide-ide, pandangan-pandangan, dan hukum-hukum yang diturunkan pada fakta-fakta yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu ia harus mengetahui kejadian-kejadian kasuistik dan harus memberikan pandangan tentangnya. Jika tidak maka ia akan kehilangan topik kontak dan berikutnya kehilangan kontak (ittishal). Oleh karena itu ia harus memonitor aktifitas-aktifitas parsial yang terjadi di masyarakat. Ia juga harus menelaah kembali (muraja’ah) buku-buku Hizb untuk menegaskan pendapat-pendapat yang diterapkan pada aktifitas-aktifitas parsial atau penderivasian ide-ide mutabanat yang termaktub di buku-buku. Bagaimanapun penguasaannya akan tsaqafah Hizb maka dengan alasan apapun ia tetap perlu melakukan muraja’ah. Dan bagaimanapun kemampuannya maka ia perlu mengetahui kejadian-kejadian parsial artinya ia harus memonitor kejadian-kejadian kasuistik secara detil (Muhammad Muhsin Radhi, Hizb at-Tahrîr Tsaqâfatuhu wa Manhajuhu fî Iqâmah al-Khilâfah al-Islâmiyyah, hal. 308, Universitas Islam Baghdad, 2006/2007).
Sejauh mana dan sekualitas apa seseorang terlibat dalam melakukan semua itu mengindikasikan sejauh mana pula ia memikul tanggungjawab dan menunaikan amanah yang ada di pundaknya sebagai bagian dari kelompok yang menjadi tumpuan harapan umat saat ini. Hal ini hendaknya menjadi salah satu introspeksi wajib kita setiap hari, terutama ketika bermunajat kepada Allah dan dikala berkhalwat dengan Allah di keheningan malam.
Dalam melakukan edukasi diatas maka diperlukan fokus. Yang harus dilakukan adalah fokus pada tujuan perubahan dan fokus pada pelaksanaan aktifitas pokok marhalah tafaul yang sejatinya merupakan aktifitas dan proses edukasi yang dimaksudkan diatas. Aktifitas lain seperti yang disebut “aktifitas riil”, aktifitas sosial, pendidikan, apalagi pernak-pernik politik praktis, tidak boleh memalingkan dari aktifitas pokok itu. Para aktivis perubahan hakiki juga harus menjadikan hidupnya berporos pada tujuan itu dan pada proses edukasi tersebut. Waktunya hendaknya tidak habis sebagian besarnya untuk kepentingan dunianya, terkuras oleh pekerjaannya, dan tersedot untuk mencari kekayaan, atau bahkan lebih buruk lagi jika itu justru untuk kepentingan dunia orang lain. Setiap diri aktivis hendaknya menghindarkan diri dan aktivitasnya agar tidak merecoki proses edukasi, mengacaukan proses itu, apalagi yang lebih buruk menghambatnya, na’ûdzu billâh min dzâlika. Setiap aktivis juga harus selalu berpikir bagaimana aktivitasnya berkontribusi dalam proses edukasi umat itu.
Agar proses edukasi itu berjalan secara efektif menghasilkan pengaruh maksimal maka pembentukan opini dan kesadaran itu harus digelindingkan secara kontinu dan terorganisir dimana semua aktifitas dengan berbagai ragamnya mengerucut pada agenda opini yang telah disusun. Dalam hal itu saling kepercayaan apalagi kepercayaan kepada kepemimpinan jamaah mutlak diperlukan. Karena tanpa itu maka proses edukasi yang telah dirancang dan disusun tidak akan bisa berjalan dan menggelinding dengan baik. Disini juga mutlak ada kepatuhan, bukan kepatuhan buta dan mati tanpa ruh melainkan kepatuhan yang dinamis dan kritis konstruktif.
Maka secara keseluruhan yang harus ada adalah kematangan dan kedewasaan sikap berjamaah. Dengan begitu maka gerbong upaya mewujudkan perubahan hakiki itu akan bisa terus berjalan, dan bahkan dengan akselerasi yang terus terjaga.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa upaya mewujudkan perubahan hakiki itu pasti memerlukan pengorbanan. Pengorbanan dalam upaya mewujudkan sesuatu merupakan sesuatu yang pasti dan thabi’i. Juga harus dipahami bahwa makin besar dan tinggi sesuatu yang ingin diwujudkan, makin besar dan tinggi pula pengorbanan yang harus diberikan. Revolusi di arab yang sudah dan terus terjadi memberikan pelajaran berharga. Jika untuk mewujdukan perubahan yang masih semu saja dibutuhkan pengorbanan dalam segala bentuknya hingga pengorbanan nyawa (di Mesir setidaknya ada 400 orang meninggal, Tunisia sekitar 200 orang, di Libya perkiraan sudah lebih dari 2000 orang). Maka pertanyaan yang harus kita tanyakan pada diri kita sendiri adalah sejauh mana pengorbanan yang sudah kita berikan dan sejauh mana kesiapan kita untuk memberikan pengorbanan? Maka hendaknya kita memupuk jiwa pengorbanan semaksimal mungkin hingga puncaknya kita siap mengorbankan segalanya sampai sampai tidak tersisa lagi yang bisa dikorbankan.
Untuk semua itu faktor keikhlasan menjadi kunci. Sebab hanya hamba yang ikhlas saja yang tidak akan bisa digoda oleh setan (QS al-Hijr [15]: 40 dan Shad [38]: 82). Keikhlasan paripurn artinya hanya Allah dan kepentingan akhirat sajalah yang menjadi satu-satunya motiv perbuatan. Keikhlasan paripurna berarti segala hal yang bersifat duniawi, baik harta, posisi, penghargaan, kebanggaan, pujian, celaan, cacian dan berbagai kepentingan dan hal duniawi tidak lagi berpengaruh. Keikhlasan juga berarti menjadikan dunia berada di genggaman tangan, bukan berada di hati, sementara hati dipenuhi oleh Allah dan kepentingan akhirat. Keikhlasan itu berarti menjadikan keridhaan dan kehidupan mulia di akhirat terus membayang di pelupuk mata, bukannya dunia, jabatan, prestise, kekayaan, dan hal-hal duniawi lainnya. Keikhlasan seperti itu akan melahirkan keistiqamahan. Keikhlasan akan menjadikan seseorang bisa memberikan kontribusi maksimal dalam posisi apapun, baik menjadi prajurit ataupun jenderal, dipimpin maupun memimpin. Keikhlasan juga akan membuahkan dan melanggengkan pengorbanan dan memaksimalkannya.
Itulah sebagian pelajaran yang bisa diambil dari perubahan dan revolusi yang telah dan sedang berlangsung di dunia Islam. Tentu masih banyak pelajaran lain yang bisa diambil. Itu pulalah sebagian hal-hal penting yang harus dilakukan, harus diwujudkan. Semua itu lebih untuk menjadi bahan instronspeksi dan kontemplasi dalam rangka memberikan yang terbaik dan maksimal di jalan perubahan hakiki ini, dan tentu saja dengan itu semoga pertolongan dengan terwujudnya perubahan hakiki akan segera diturunkan oleh Allah SWT. Dan semoga hal itu terealisir melalui tangan kita. Allâhumma anjiz lanâ mâ wa’adtaka ‘alâ rasûlika bi ‘awdat[i] al-Khilâfah ar-Râsyidah ‘alâ minhâj an-nabiyyika, Allâhumma ij’alnâ min man aqâmahâ bi aydînâ, Allâhumma tsabbit aqdâmanâ wa unshurnâ fî thâ’atika, âmîn. [ YA]