Kemunculan kelompok jihad yang menamakan diri dengan Tandzim Al Qaeda Serambi Mekah pada awal Maret 2010 tentu mencengangkan banyak pihak. Apalagi setelah itu terjadi perburuan, penembakan, dan penangkapan secara beruntun kepada Tandzim Al Qaeda ini yang sempat melakukan perlawanan. Semua pihak beramai-ramai membuat analisa menurut perspektif masing-masing. Ada yang setuju, tidak sedikit yang mencerca. Berikut sebuah analisa yang dimuat di sebuah blog 'elhakimi' yang akan dimuat secara bersambung. Semoga bermanfaat!
Jihad Aceh yang terjadi pada awal Maret 2010 begitu mengagetkan. Ketika sebelumnya masyarakat disibukkan dengan gonjang-ganjing Century, begitu muncul berita jihad Aceh, langsung Century dilupakan. Mengagetkan karena sebelumnya Aceh dikenal sebagai basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sangat bercitra lokal, berubah menjadi basis Al-Qaeda yang bercitra global.
Lebih mengagetkan lagi, mereka - yang selalu mendapat sebutan teroris itu - melakukan perlawanan dalam bentuk adu senjata secara terbuka di alam bebas. Hasilnya sungguh mengegetkan, beberapa anggota densus 88 yang dicitrakan sebagai pasukan preman seperti Blackwater - lengan bajunya dilinting untuk menonjolkan kesan macho - bisa dibunuh oleh mereka.
Sontak, berita Al-Qaeda Aceh menjadi boming. Belum reda panasnya kontak senjata di Aceh, segera disusul dengan tertembaknya (Ab) Dulmatin alias Amar Usman yang kepalanya dihargai 10 juta dolar oleh Amerika. Media masa hingar bingar memblow-up peristiwa ini.
SBY yang dirundung duka dengan tekanan bertubi-tubi terkait kasus Century, sontak wajahnya sumringah dan berseri-seri. Ia mendapat amunisi bagus untuk menutupi kasus Century. Di sisi lain, ia yang tengah berkunjung ke Australia dan mendapat "kehormatan" untuk menjadi pembicara di parlemen Australia - konon baru 5 kepala negara yang diberi kesempatan untuk itu - memiliki kesempatan istimewa untuk menjilat Australia. Ia dengan mengucap "alhamdulillah" melaporkan kepada tuannya keberhasilan menangkap gembong teroris (baca: tokoh mujahid) yang selama ini diincar seluruh dunia kafir.
Banyak analisa yang beredar di tengah masyarakat. Tapi sayang, umumnya terbelah dalam dua kubu yang sama-sama tidak benar dalam menyikapi masalah ini. Memandang masalah dengan kacamata yang salah.
Kubu Pertama: Penganut Teori Konspirasi
Penganut mazhab ini melihat jihad Aceh sebagai konspirasi SBY dan kepolisian RI untuk mengalihkan perhatian semata dari kasus Century yang puncaknya pada awal Maret 2010 lalu. Atau, konspirasi pematangan situasi untuk memberangus kaum radikal agar tercipta keamanan maksimal saat kunjungan Obama ke Indonesia yang dijadwalkan akhir Maret. (Alhamdulillah, tertunda hingga Juni, katanya).
Teori konspirasi esensinya adalah mekanisme "menyalahkan" musuh dengan menutup mata bahwa gerakan perlawanan di tengah umat Islam sejatinya realitas yang tak bisa ditolak. Teori konspirasi selalu berkonotasi bahwa musuh Islam amat hebat, bisa merancang apa saja dan merealisasikannya laksana alur cerita film, sementara umat Islam hanya sekawanan "kambing congek" yang bodoh dan tertindas. Teori konspirasi dilandasi pandangan bahwa sutradara segala kejadian di alam semesta adalah Yahudi, Israel, AS, Eropa, CIA, BIN, Kepolisian, dan seterusnya. Teori ini menihilkan taqdir Allah, kemampuan mujahidin dan umat Islam. Apapun kejadian yang merugikan umat Islam, selalu jawabannya sama: ada konspirasi Yahudi di baliknya. Seolah Yahudi "Penguasa Alam Semesta" yang seluruh rencananya dapat terjadi laksana skenario film di tangan sutradara.
Misalnya, ketika membedah serangan WTC yang meruntuhkan simbol ekonomi AS, para penganut teori konspirasi terbelenggu keyakinan bahwa itu semua bikinan AS. Usamah bin Ladin hanya pion yang dimanfaatkan oleh AS untuk mengacak-acak umat Islam. Buktinya? Dahulu saat Afghanistan melawan Uni Sovyet, mujahidin mendapat sokongan dari AS. Di dalamnya termasuk Usamah bin Ladin.
Mata rantai logika yang disusun, lalu kesimpulan yang dihasilkan sangat menggelikan. Mereka tidak sadar, teori ini bisa menyeret kesimpulan lain; bahwa nabi Musa as sebenarnya antek Fir'aun. Dalilnya? Karena pernah diasuh Fir'aun di istananya.
Para penganut mazhab konspirasi tidak percaya bahwa mujahidin bisa melakukan serangan spektakuler 11 September itu. Mereka terpenjara oleh pengalaman umat Islam yang terjajah sekian lama, tak mungkin ada di tengah umat Islam yang mampu melakukan perlawanan kepada kaum kafir.
Para penganut mazhab konspirasi berdalih, teknologi AS demikian canggih sehingga mustahil ada pesawat sipil yang lolos dari intaian radar AS, di negerinya sendiri. Mereka melupakan Ke-Maha Kuasa-an Allah, yang bisa menjadikan api yang pasti membakar, tidak memberi efek membakar bagi Ibrahim as. Mereka lupa, bahwa taqdir hancurnya WTC justru dengan membuat kaum Yahudi mengendus rencana penyerangan, dan mereka sengaja membiarkannya demi mengobarkan perang melawan umat Islam yang memang mereka inginkan. Inilah jalan taqdir yang Allah kehendaki untuk hancurnya WTC.
Para penganut mazhab konspirasi salah menyimpulkan. Mereka menyangka, sikap Yahudi yang membiarkan penyerangan berjalan mulus merupakan bukti konspirasi antara AS dengan Usamah bin Ladin. Subhanallah... Gara-gara teori menyesatkan ini, mereka menuduh mujahid yang prestasi jihadnya diakui dunia sebagai antek AS. Menuduh tokoh jihad sebagai pengkhianat hanya disebabkan teori konspirasi.
Penganut mazhab ini sangat banyak jumlahnya. PKS, HTI dan hampir seluruh elemen umat Islam yang beraliran perlawanan tapi modernis menggunakan mazhab ini. Lihat misalnya situs Eramuslim dan Hizabuttahrir. Analisanya selalu dilandasi teori konspirasi. Menyedihkan !
Kedua: Penganut Neo-Murji'ah
Penganut mazhab ini yakin seratus persen terhadap informasi yang datang dari pihak pemerintah, dalam hal ini kepolisian. Bahwa pelaku adalah kalangan umat Islam yang dengan sengaja melawan pemerintah yang "sah". Penganut Neo-Murji'ah mengambil sikap memusuhi para pelaku, dan percaya bahwa kejadiannya memang benar, bukan rekayasa atau hasil konspirasi tertentu, misalnya dari pihak pemerintah.
Penganut mazhab ini umumnya dari kalangan Salafi Murji'ah. Mereka menolak teori konspirasi, tapi di sisi lain, menghujat mujahidin dengan kalimat yang tajam. Biasanya menyebutnya sebagai Khawarij. Silakan lihat fenomena ini misalnya si situs-situs SM (Salafi Murji'ah) dan Radio Rodja Cileungsi. Salah satu tokoh penting mazhab ini Zainal Abidin (pendiri radio Rodja).
Kesalahan mazhab ini terletak pada kebenciannya yang membabi buta terhadap mujahidin. Mereka sama sekali tak mau mengakui status para "teroris" sebagai mujahidin. Bagi mereka para mujahidin lebih dibenci dibanding kebencian mereka terhadap George Bush, Ariel Sharon, Geert Wilders, dan tokoh-tokoh perusak Islam lain.
Penulis heran, jangan-jangan mereka belum pernah mempelajari konsep Wala' wal Bara' dengan benar. Atau kalaupun mempelajarinya, pasti dengan persepsi yang salah. Mereka sangat mencintai Sunnah, tapi sayang tidak mampu memilah mana musuh dan mana kawan. Mereka mengidentikkan istilah Teroris dengan Khawarij. Hasilnya, menurut mereka, Teroris akan menjadi anjing-anjing neraka Jahannam!
Mazhab Wasath (Aliran Pertengahan)
Bertolak belakang dengan hujatan kaum SM, penganut mazhab wasath dengan penuh rasa cinta menyebut mereka yang diberi gelar Teroris sebagai Mujahidin. Tentu saja Teroris yang muslim, dan ada kaitannya dengan membela Islam dan umat Islam. Bukan Teroris seperti Tentara Basque di Spanyol yang beragama Kristen.
Demikian pula, tak mau memandang jihad Aceh dengan teori konspirasi. Semuanya benar adanya, dilakukan oleh kalangan umat Islam yang sangat merindukan jihad dan mati syahid. Mereka termotivasi pahala yang demikian menggiurkan untuk aktifitas jihad dan karunia mati syahid. Adapun kejadiannya yang menyusul ramainya skandal Century, sama sekali tak bisa dipahami bahwa jihad Aceh hasil rekayasa kepolisian. Ini semata taqdir Allah, yang boleh jadi sebagai bentuk istidraj untuk SBY agar ia merasa disayangi Allah karena menyelamatkannya dari skandal Century. Padahal gaya menjilatnya kepada Australia dengan memberi laporan kepada "tuannya" tersebut, menunjukkan bahwa SBY bukan sosok yang pantas mendapat pertolongan dari Allah dalam konteks kasih sayang. Tetapi "pertolongan" dalam konteks istidraj.
Pada sisi lain, mazhab wasath juga tidak membela jihad Aceh dengan membabi-buta sebagai kebenaran mutlak tanpa cela. Mazhab ini tetap memberikan analisa kritis atas amaliah jihad Aceh dengan catatan-catatan evaluasi, agar menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya. Sama sekali bukan karena faktor benci atau dengki. Tapi semangat saling menasehati dengan cinta. Rabbana la taj'al fi qulubina ghillan lilladzina amanu !
Refleksi ini ditulis dengan paradigma mazhab wasath. Maka, akan terasa menyakitkan bagi yang mendukung jihad Aceh dengan membabi-buta seolah tanpa cacat. Mohon maaf.
Menghidupkan Jihad Aceh
Jihad Aceh mencoba memelihara bumi Aceh yang penuh berkah agar tetap beraroma jihad, melanjutkan apa yang dilakukan sekian lama oleh Allah Yarham Daud Beureuh (Baca: Ber'eh) dengan gerakan DI/TII-nya. Pada zaman yang lebih tua, perang Sabil yang dilakukan rakyat Aceh melawan kafir Belanda.
Bumi jihad Aceh sempat dikangkangi oleh perlawanan dengan aroma kesukuan; sentimen Aceh melawan Jawa dengan nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dengan matinya ruh perlawanan GAM - karena memang ruh kesukuan sejatinya lemah - maka terbuka peluang untuk membersihkan aqidah rakyat Aceh dari sentimen kesukuan tersebut. Dikembalikan kepada aqidah Islamiyah, yang karenanya jihadnya harus dengan paradigma fi sabilillah, bukan fi sabili GAM.
Namun sayang, tampaknya misi ini belum berhasil direalisasikan oleh pelaku, karena rakyat sudah sangat pro pemerintah setelah trauma dengan dampak sepak terjang GAM pada masa lalu. Mereka sudah terlanjur trauma terhadap apapun yang berbau senjata. Mereka sudah lelah dengan kekerasan.
Trauma ini hanya bisa diobati dengan dakwah, yang meluruskan rakyat Aceh dari aqidah Nasionalisme atau Kesukuan dan kembali kepada aqidah Islamiyah. Didakwahi untuk cinta jihad, mati syahid dan benci kepada sistem non Islam.
Pilihan Aceh untuk dijadikan front jihad, dan wilayah manapun di Indonesia, sesungguhnya perlu dikaji lebih dalam. Jihad membutuhkan "pemicu" sehingga bisa menarik umat Islam dalam jumlah masal untuk bergabung. Jika pemantiknya tidak cukup kuat, masyarakat tak tergerak untuk mendukung jihad. Faktanya, pelaku sama sekali tak memikirkan faktor pemantik ini. Mereka hanya menjadikan fardhu-nya jihad dan kemuliaan mati syahid sebagai pemantik. Padahal umat Islam sudah demikian terbelenggu oleh materialisme dan kenikmatan hidup (yang damai).
Pertanyaan masyarakat belum akan terjawab, jika sekiranya mereka sudah terpanggil mendukung jihad Aceh: memangnya jihad melawan siapa jika lokasinya di Aceh? Pertanyaan ini ternyata lebih fasih dijawab oleh polisi; tuh kan mereka ini orang-orang jahat, tidak ada musuh yang jelas kok ngajak perang. Mereka hanya mau membuat onar. Jika masyarakat Aceh ikut, hanya akan menambah kesengsaraan saja. DAKWAH POLISI ini terbukti lebih manjur dan lebih simpel, sehingga mudah dipahami masyarakat.
Keberhasilan Abu Mus'ab Az-Zarqawi menghidupkan jihad di Iraq karena ada pemicu yang sangat kuat, yakni hadirnya
penjajah asing yang kafir dan sangat kejam. Tiga kata (yang dibold) tersebut menjadi pemicu yang sangat kuat, sehingga berhasil menarik pasukan Saddam dalam barisan jihad.
Pemantik yang digunakan oleh pelaku hanya kosa kata jihad, fardhu 'ain, Al-Qaeda dan mati syahid. Padahal kata ini masih sangat absurd di kalangan masyarakat yang mendiami sekitar lokasi "proklamasi jihad" Aceh tersebut. Bagaimana mungkin jihad di gunung bisa eksis, jika masyarakat di kaki gunung tidak mendukung, memberi bantuan logistik dan lain-lain. Dalam hitungan hari pasti akan digulung dengan mudah.
Para mujahid Aceh tampaknya bermazhab bahwa jihad adalah tujuan, bukan cara. Bahkan lebih ekstrim lagi, menjadikan mati syahid sebagai tujuan. Akibatnya, tak perlu mempertimbangkan analisa menang atau kalah, mampu atau tidak mampu. Pokoknya jihad. Sama dengan shalat, pokoknya harus dikerjakan di manapun dan dalam kondisi apapun, meski dalam keadaan sakit sekalipun. Padahal jika mujahid hanya merencanakan mati (syahid), ia sedang merancang kekalahan.
Berikut lanjutan analisa yang dimuat di blog 'elhakimi' yang merupakan lanjutan tulisan sebelumnya. Semoga bermanfaat dan dapat menghilangkan keraguan ummat akan urgensi jihad, Insya Allah!
Sibuk Menyalahkan Musuh
Ketika umat Islam mendapat serangan dari musuh, masih banyak yang sibuk menyalahkan musuh. Amerika dijadikan sasaran caci maki. Amerika negara jahat, pemerintah SBY arogan dan sebagainya. Ini semua benar, tak ada yang salah dengan ungkapan ini.
Permasalahannya adalah, sikap ini membiasakan kita menutupi kelemahan dan kegagalan kita dengan mengkambing-hitamkan pihak lain. Menyalahkan musuh yang lebih pintar. Padahal kesalahan sejatinya terpulang pada kelemahan umat Islam sendiri.
Sebagai ilustrasi, kesebelasan Indonesia bertanding melawan kesebelasan Brazil. Jika kalah dalam pertandingan, Indonesia tak bisa menyalahkan Brazil. Karena memang satu-satunya tugas pemain Brazil saat bertanding adalah mengalahkan Indonesia, sebagaimana Indonesia obsesi tertingginya juga mengalahkan Brazil. Ketika kalah, setiap kesebelasan pasti sibuk membenahi skuadnya, bukan sibuk menyalahkan kecerdikan musuh atau menyalahkan wasit. Tindakan selalu menyalahkan musuh adalah kebodohan yang akan ditertawakan dunia. Sebuah kecengengan yang kanak-kanak.
Tapi sayang, banyak umat Islam yang selalu sibuk menyalahkan Densus 88, kepolisian dan pemerintah - siapapun presidennya. Para aparat itu digaji untuk membela ideologi Nasionalisme, Demokrasi dan hukum non syariat. Bagaimana mungkin kita berimajinasi bahwa mereka akan memberikan kasih sayang kepada para mujahidin yang 'digaji' oleh Allah untuk membela Tauhid, umat Islam dan hukum syariat. Kedua belah pihak memiliki ideologi yang bertolak belakang. Menang atau kalah terpulang sepenuhnya kepada mekanisme pertarungan, tanpa perlu merengek agar musuh melunakkan perlawanan. Kita hanya boleh menyibukkan diri meratapi kelemahan internal, mengevaluasi kesalahan, dan mengoreksi apapun yang keliru.
Mengapa umat Islam dengan mudah dijajah AS? Mengapa mujahidin yang semestinya kuat, bisa digulung dengan gampang oleh densus 88?
Paradigmanya harus dibalik. Bukan menyalahkan Densus 88, pemerintah SBY, Israel atau AS. Tapi menyalahkan diri sendiri; ada kesalahan apa sehingga mujahidin begitu mudah dihabisi? Ada kekeliruan strategi apa sehingga kalah? Ada kemunkaran apa? dan seterusnya.
Adapun menyalahkan Densus 88 sebagai sebuah strategi melemahkan Densus 88 di hadapan umat, ini bisa dibenarkan. Karena dengan melemahkan citra Densus 88 di mata umat Islam, dukungan terhadap Densus akan berkurang. Dengan begitu umat bisa diajak mendukung mujahidin, bukan mendukung densus 88.
Maka, dari sini mestinya umat Islam sibuk mengevaluasi apa yang dilakukan mujahidin Aceh. Disisir satu persatu. Sehingga kelak menjadi sekumpulan pelajaran yang berguna untuk bercermin. Jika ingin melakukan hal yang serupa, apa yang perlu diperbaiki.
Maka berhentilah menyalahkan musuh, tapi salahkan diri sendiri (diri umat Islam yang kita menjadi salah satunya).
Tolok Ukur Muhasabah: Keberlangsungan Jihad dan Kemenangan Islam
Kita sebelum melakukan muhasabah, mesti menyepakati tolok ukur yang akan digunakan. Sebab, kekeliruan memilih tolok ukur, menjadikan kekalahan dipandang sebagai kemenangan.
Misalnya, jika kita menggunakan mati syahid sebagai tolok ukur, maka jihad Aceh 2010 sudah cukup berhasil. Berhasil apa? Mempersembahkan syuhada! Karena faktanya, lumayan banyak yang gugur sebagai syuhada (kama nahsabuhu wala nuzakki 'alallah ahadan).
Jika tolok ukurnya adalah kemampuan membunuh musuh, jihad Aceh juga bisa dianggap cukup berhasil karena untuk pertama kali bisa membalik fakta: biasanya Densus 88 dan anteknya selalu dalam posisi membunuh, tapi bisa dibuat dalam posisi terbunuh. Dan jumlahnya juga fantastis ! Kompas menyebutnya 5 orang.
Jika tolok ukurnya penangkapan oleh Densus 88, jihad Aceh juga relatif "berhasil". Karena mempersembahkan kader-kader jihad dalam jumlah yang cukup banyak sebagai penghuni hotel Prodeo. Dan kisah penangkapannya juga relatif mudah.
Jika kemampuan meniru Al-Qaeda dalam style propagandanya, jihad Aceh juga cukup berhasil. Mereka bisa merekam propagandanya dengan latar yang indah; hutan rimba dan bukit-bukit yang lebat. Seruannya juga jelas; mengajak umat Islam untuk bergabung dengan mereka di hutan. Hanya sedikit ada perbedaan dengan Al-Qaeda, mereka melakukannya dengan cara melecehkan kegiatan dakwah dan sosial keumatan yang dilakukan anasir umat sendiri. Mereka menihilkan apapun kecuali jihad. POKOKNYA JIHAD !
Tampaknya Al-Qaeda menjadi inspirasi terpenting. Hal ini tak bisa dihindarkan, karena siapapun bicara jihad, tidak akan bisa mengabaikan fenomena Al-Qaeda yang kian mengglobal dengan makin meluasnya internet. Al-Qaeda menjadi model impian bagi semua aktifis yang terobsesi jihad. Mudah didapatkan di internet, pesan-pesannya sangat kuat dengan gaya "hitam-putih" dan membakar adrenalin kaum muda. Mereka tak perlu panjat tebing, cukup dengan duduk di depan internet, mereka sudah terbakar adrenalinnya.
Ini semua menurut penulis, bukanlah tolok ukur keberhasilan jihad Aceh. Meski secara umum kita harus mengapresiasi jihad yang mereka proklamasikan. Tak ada do'a kita untuk mereka kecuali semoga amal ibadah mereka diterima oleh Allah. Dan tak ada pilihan sikap bagi kita kecuali menjadi kader yang suatu saat nanti akan melanjutkan jihad mereka, tentu saja dengan tidak mengulangi "kesalahan" mereka setelah kita evaluasi. Tapi melanjutkan bukan bermakna harus di Aceh atau di wilayah Indonesia yang lain. Melanjutkan yang kami maksud adalah melanjutkan jihadnya, bukan melanjutkan keharusan Acehnya apalagi "kesalahan"nya. Artinya, kita harus menjadi mata rantai dan jejaring jihad umat Islam global, setelah mereka terlebih dahulu memastikan diri sebagai salah satu cincin dari rantai jihad global.
Maka tolok ukur keberhasilan harus kita sepakati sisi keberlangsungan jihadnya, dukungan umat Islam atasnya dan kemampuan melemahkan musuh hingga mengalahkannya. Jika jihad Aceh 2010 hanya dalam hitungan pekan berhasil digulung musuh, maknanya kita harus melakukan evaluasi, ada kesalahan apa. Jika umat Islam tidak mendukung dan terpanggil bergabung dalam kafilah jihad, berarti ada yang perlu kita perbaiki (next time better). Bila jihad Aceh 2010 tidak mampu melemahkan musuh apalagi mengalahkannya, maknanya ada yang perlu disiapkan lebih serius untuk mengalahkannya.
Memang benar, bahwa kita tidak dibebani oleh Allah dengan keharusan mengalahkan musuh, tapi tak bisa dipungkiri bahwa syariat jihad merupakan alat terbaik yang Allah sediakan bagi kita untuk mengalahkan musuh. Bila senjata terbaiknya saja tak mampu kita gunakan, lalu dengan cara apa lagi kita akan bisa mengalahkan musuh?
Teori dasarnya; JIHAD PASTI MENGHASILKAN KEMENANGAN jika DILAKUKAN DENGAN BENAR. Bila hasilnya kekalahan, maknanya kita harus dengan dada lapang berani mengevaluasinya. Bisa jadi eksperimen ini akan terjadi berulang, dan terus dilakukan evaluasi, untuk mencapai tujuan terbesar: menghasilkan kemenangan. Abu Mus'ab As-Sury mencontohkan, dengan menulis refleksi jihad Syria, lalu refleksi yang lebih luas dalam bukunya dakwah muqawamah. (Diterbitkan sebagian serinya oleh penerbit Jazera Solo dengan judul: Perjalanan Gerakan Jihad). Buku ini berisi refleksi jihad global, evaluasi kekurangan-kekurangannya dan bagaimana strategi ke depannya demi memastikan jihad menghasilkan kemenangan.
Jihad; tujuan atau sarana
Salah satu perdebatan sengit yang berkembang di tengah aktifis jihad, apakah jihad dipandang sebagai sarana untuk mencapai kemenangan ataukah tujuan dan terminal akhir dari serangkaian penghambaan kepada Allah? Meski perdebatan ini tak mencuat ke permukaan dalam bentuk silat lidah, tapi terrefleksikan dalam pilihan tindakan.
Mazhab sarana akan meletakkan jihad sejajar dengan semua ibadah yang lain. Setiap ibadah dibingkai oleh maqashid syariah yang sesuai dengan karakternya. Shalat dibingkai maksud hubungan kepatuhan vertikan secara ritual. Shaum dibingkai tujuan pengendalian hawa nafsu dan kejujuran pribadi kepada Allah. Zakat dibingkai tujuan kesetiakawanan sosial dalam hal harta, dan menghilangkan mental kikir. Nahi munkar dibingkai tujuan menghilangkan kemungkaran di tengah umat Islam. Sementara jihad dibingkai tujuan pengorbanan pribadi dalam membela Allah dan mengalahkan musuh Allah.
Jihad itu ibadah. Tapi dalam pelaksanaannya, tak semata dilandasi tujuan melaksanakan ibadah. Terdapat sejumlah syarat untuk melaksanakannya, ada aturan yang menyertainya. Tidak asal melaksanakan perintah Allah bernama jihad.
Hal ini serupa dengan ibadah nahi munkar. Tak asal nahi munkar. Jika nahi munkar diprediksi justru melahirkan kemunkaran lebih besar, nahi munkar tak boleh dilakukan. Bukan semata nahi munkar.
Para penganut mazhab sarana akan cenderung mempersiapkan jihad dengan melakukan dakwah, pembinaan keumatan, layanan sosial, pendidikan dan sebagainya. Mereka tak menihilkan peran dakwah sebagai alat lain dalam menegakkan Islam. Posisinya sejajar, karena hajat umat kepada dakwah tidak kalah besar dibanding hajat umat terhadap jihad. Keduanya dilakukan secara simultan, tidak ada yang dianak-tirikan. Paradigma ini yang semestinya digunakan dalam melihat ibadah bernama jihad.
Sementara penganut mazhab tujuan, tindakannya hanya terfokus pada pelaksanaan jihadnya sebagai sebuah fardhu 'ain. Mereka mengabaikan pernik persoalan yang bersifat menunjang keberlangsungan jihad. Mereka ingin semua orang Islam datang berduyun-duyun menyambut seruannya, pergi ke hutan dan gunung-gunung di Aceh dan bergabung dengan mereka. Mereka meninggalkan dakwahnya, pesantrennya, lembaga sosialnya, dan segala hal yang tidak ada potret "memegang senjata"nya.
Padahal jihad membutuhkan dukungan dakwah, dana, jurnalistik, pakar komunikasi, pakar teknologi, dan kepakaran lain. Memerlukan kesinambungan SDM yang akan memikul beban jihad ini. Bagaimana mungkin jihad akan berlanjut, jika mesin penyuplai mujahid harus ditinggalkan, seperti pesantren, madrasah, majlis taklim dan sejenisnya?
Kesan kuat yang muncul dari jihad Aceh adalah menjadikan jihad sebagai tujuan, bukan sarana untuk memperoleh kemenangan Islam. Ketika jihad menjadi tujuan, maka seorang mujahid akan mengabaikan pernik pendukung yang akan mempengaruhi kesuksesan jihad. Misalnya dakwah, dukungan masyarakat sekitar, dukungan media massa dan sebagainya.
Titik perhatiannya hanya bagaimana berjihad dan mengajak umat Islam untuk berjihad, meski ajakan itu menjadi sangat absurd (kabur) di mata umat Islam yang tidak mengerti apa-apa tentang wacana jihad. Mereka mendengar ajakan itu seperti angin lalu, karena tidak mengerti maksud ajakan itu.
Misalnya, jika ada yang menyambut seruan ini, mereka masih akan kesulitan menemui panitianya. Mereka bingung alamat sekretariatnya. Mereka belum tahu, apakah untuk gabung masih diperkukan adanya ujian masuk atau tidak? Mereka tidak tahu lokasi bukitnya. Mereka juga tak tahu, musuhnya siapa. Ini yang kami maksud absurd.
Jihad melawan Densus 88 di mata umat Islam merupakan sesuatu yang sulit dipahami. Mereka akan bilang, Islam lawan Islam. Wajar, karena mayoritas anggota Densus 88 pastilah beragama Islam, mengikut jumlah umat Islam yang mayoritas di negeri ini.
Problem ini membutuhkan dakwah. Lalu bagaimana jihad akan mendapat dukungan luas, jika dakwah dinihilkan? Dakwah dilecehkan sedemikian rupa dalam rilis mujahidin Aceh. Seolah mereka hidup di planet lain, dan hanya sibuk dengan dunianya sendiri. Dalam kedokteran, ini disebut penyakit autisme.
Bersambung...